You dont have javascript enabled! Please enable it!

Potret Kebudayaan dalam Tiga Ranah Berbeda

A. Identitas Novel

Judul Novel : Ranah 3 Warna
Pengarang : Ahmad Fuadi
Tebal buku : 473 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tahun : Januari 2011
Edisi ke- : 1 (Satu)

B. Sinopsis Novel
Novel ini mengungkapkan kisah nyata tentang kegigihan seorang pemuda kampung yang ingin melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi. Pemuda ini merupakan lulusan pondok madani yang dikenal sebagai sebuah pondok pesantren yang memiliki kredibilitas tinggi untuk para lulusannya. Pondok pesantren yang “menggojlok” tokoh utama selama empat tahun ini berhasil memberikan pembekalan yang komplit, mulai dari ilmu agama hingga ilmu umum yang seyogyanya keduanya dibutuhkan di dunia dan di akhirat.

Setelah menamatkan sekolahnya di sebuah pondok pesantren tersohor dan dikenal sulit untuk menembusnya itu, tokoh utama yang pada hal ini diperankan oleh Alif, memilih untuk menghabiskan liburan panjang menjelang kuliah di kampung halamannya, yaitu tanah kelahiran yang dibingkai oleh danau biru nan indah dan dihiasi pemandangan alam yang serta merta membuat siapa pun rindu akan kampung halalman.

Hari itu Randai sahabat karibnya sekaligus kompetitornya dari kecil juga menghabiskan liburan di maninjau, tetapi lain halnya dengan Alif, Randai menimmati liburan semester, bukan liburan seorang anak pondok yang baru lulus, Randai telah berstatus mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB), kampus yang selama ini diidamkan oleh tokoh utama, kampus tempat habibie sang jenius bersekolah dan sampai hari ini ia masih merasa “iri” atas keberuntungan Randai.

Demi mengejar ketertinggalannya dari Randai, dengan semangat yang menggebu-gebu ia berhasrat ingin melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi dan ingin menjadi seperti Habibie tokoh idolanya sejak kecil. Namun, dengan latar belakangnya sebagai lulusan pesantren yang tidak mengeluarkan ijazah setara SMA membuat ia kesulitan untuk menggapai cita-citanya.

Setelah ditelusuri ternyata ia bisa mengikuti ujian persamaan yang pada akhirnya dapat mengeluarkan ijazah SMA dan ia bisa kuliah di perguruan tinggi negeri seperti yang ia harapkan. Satu hal lagi yang membuat ia bingung, ia tidak mempunyai buku-buku pelajaran yang memuat pelajaran SMA selama tiga tahun itu, adapun yang ia peajari di pondok hanya sekilas lalu saja atau tidak terlalu mendalam, tetapi ada sebagian temannya yang berbaik hati meminjamkan buku-buku SMA selama tiga tahun yang kebetulan masih ia simpan dengan rapi.

Menjelang ia mengikuti ujian persamaan, banyak sekali umbaran keprihatinan yang diucapkan oleh sanak saudara perihal melanjutkan kuliah di perguruan tinggi negeri impiannya. Kebanyakan dari mereka menyuruh Alif untuk mengajar guru ngaji di surau atau melanjutkan kuliah di perguruan tinggi swasta di kampungnya.

Bagai karang yang tak goyah dihempas ombak, semangat alif semakin menjadi-jadi, ia tidak memperdulikan sedikitpun saran orang-orang yang seperti mencemooh itu. Dia bertekad akan membuktikan bahwa ia pasti bisa jika berusaha dengan keras serta perbanyak berdoa.

Setelah ia membuka-buka buku pelajaran SMA tersebut ternyata ada rasa muak melihat tiga onggokan buku yang sudah seperti gunung di kamarnya, dikarenakan perguruan tinggi tujuannya adalah ITB, jadi ia memperlajari buku SMA yang memuat pelajaran IPA, namun setelah ia membaca, mempelajari dan diajar pula oeh Randai ternyata ia kurang bisa “berteman” dengan IPA dan pada akhirnya ia memutuskan untuk mendalami ilmu IPS dan mengucapkan selamat tinggal pada ITB.

Tenggat waktu sebelum ujian persamaan ia gunakan sebaik mungkin untuk mempelajari buku-buku SMA yang tidak semua ia temui di pondok pesantren, ia bertekad untuk belajar hingga larut malam seperti yang ia praktikkan sewaktu di pondok pesantren yaitu bekerja di atas rata-rata orang lain. “Going the extra miles” begitu pepatah yang ia kenal dan ia implementasikan ke dalam hidupnya. Alhasil, ia lulus ujian persamaan tersebut dengan nilai yang cukup, tidak begitu jelek dan tidak pula begitu baik namun ia tetap bersyukur karena ia berhasil lulus dari ujian persamaan tersebut. Langkah selanjutnya ialah ia harus lebih ekstra lagi berusaha untuk mengikuti Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN).

Ujian ini adalah ujian yang menentukan nasib Alif kedepannya, karena melalui jembatan ujian ini, Alif bisa sampai ke tujuan yaitu Perguruan Tinggi Negeri. Setelah belajar dengan giat, tak hent-hentinya berdoa dan disertai dukungan penuh dari orang tua, Alif akhirnya lulus UMPTN dengan jurusan dan kampus yang telah ia pilih tempo hari, yaitu Hubungan Internasional, di Universitas Padjajaran. Bukan main gembira hati Alif dan keluarganya karena usaha kerasnya selama ini membuahkan hasil, terlebih lagi ia mampu membuktikan kepada orang-orang yang mencomoohnya bahwa ia bisa menembus apa yang menurut mereka tidak bisa ditembus oleh lulusan pondok pesantren seperti Alif.

Dengan penuh sukacita Alif bergegas untuk menyiapkan segala keperluan kuliahnya dan menyegerakan untuk berangkat ke bandung tempat dimana ia akan kuliah. Sesampainya ia di Bandung, untuk sementara ia tinggal di kosan Randai teman sekaligus kompetitornya itu, di daerah Tubagus Ismail. Dikarenakan Alif belum menemukan kosan yang cocok atau sesuai dengan kriteria baik harga maupun tempat, Randai menyarankan untuk tinggal sekamar dan patungan membiayai segala kebutuhan hidup. Pada hari pertama kuliah di Universitas Padjajaran, ia menemukan banyak teman baru dan beberapa diantara mereka sudah menjadi teman dekatnya yaitu Wira, Agam dan Memet.

Mereka berempat selalu bersama hingga mereka mendapat gelar Geng Uno gelar tersebut melekat karena Alif dan teman-temannya itu selalu bermain Uno jika mereka merasa jenuh dan bosan. Selama kuliah, mahasiswa dianjurkan untuk mengikuti salah satu kegiatan untuk menunjang kreativitas dan bakat mahasiswa yang dalam hal ini Alif memilih untuk terjun ke dalam majalah kampus. Seiring berjalannya waktu ia tertarik dengan orang-orang yang tulisannya bisa dimuat di media nasional dan mendapatkan uang dari tulisannya tersebut.

Akhirnya Alif sang tokoh utama ini bertekad ingin belajar kepada seorang ahli yang dalam novel ini berperan sebagai penolong kesulitan-kesulitan yang dialami Alif, yaitu Bang Togar. Bang Togar mengajarkan dengan keras cara menulis dengan baik kepada Alif sehingga Alif merasa tertantang untuk bisa menyanggupinya. Berkat usaha kerja keras dan doa, akhirnya Alif bisa menulis dengan baik dan pada hari itu tulisan Alif diberi apresiasi positif oleh Bang Togar yaitu menempelkan tulisan Alif di mading kampus sehingga orang-orang berdecak kagum atas prestasi yang tidak mudah diraih oleh anak semester satu pada umumnya. Dengan senang hati ia memberikan kabar gembira ini kepada ayah dan ibunya di kampung dan mengirim majalah yang memuat tulisannya itu melalui pos dan secarik surat pengantar dari Alif pribadi. Orang tua Alif tidak kalah senang hatinya melihat prestasi gemilang yang diraih oleh anaknya itu.

Di tengah kebahagiaan yang menghujani Alif, tidak lama berselang setelah Alif mengirim surat tempo hari, Amak, panggilan untuk ibu yang digunakan tokoh dalam novel ini mengirim telegram khusus yang menyatakan bahwa Ayah Alif sakit keras dan Alif harus pulang dengan segera. Dengan hati berkecamuk dan tidak menentu Alif pun pulang ke maninjau dan setibanya di maninjau Alif mendapati ayahnya sedang terbaring lemah di Rumah sakit, matanya kuyu dan badannya mengurus membuat Alif semakin prihatin.

Selama ayahnya dirawat di rumah sakit, Alif dan amaknya merawat ayah dengan baik sehingga pada akhirnya kondisi Ayah Alif benar-benar membaik dan dibolehkan oleh dokter untuk beristirahat di rumah. Setelah dirasa Ayah benar-benar pulih, Alif berpamitan untuk kembali ke Bandung karena khawatir akan banyak pelajaran tertinggal. Untuk itu alif menyiapkan segala keperluannya dengan lengkap sebelum ke Bandung, akan tetapi ketika pagi menjelang, amak dengan perasaan gundah dan berpeluh membangunkan alif dari tidurnya, amak memaksa alif untuk melihat ayahnya yang tersengal-sengal sambil memegang perutnya, napasnya satu-dua, keningnya mengernyit menandakan bahwa ayah Alif sedang sakit sekali. Dengan cepat Alif menggenggam tangan ayahnya dan menyelimutkan ayahnya yang tampaknya sedang kedinginan hebat, selain itu Alif juga membimbing Ayahnya untuk selalu mengucapkan “Laa ilaaha ilallah” agar sakit yang dirasakan ayahnya berkurang.

Keadaan semakin tidak beraturan tangis keluarga alif pecah sedikit demi sedikit. Seakan telah mengetahui ajalnya, ayah Alif mulai berpesan kepada putra sulung satu-satunya itu. “ Alif, tolong bela Amak dan adik-adikmu, selesaikan apa yang wa’ang mulai, selesaikan sekolah, patuhilah amak, maafkan ayah, doa ayah selalu.. Laa ilaaha Ilallah..” suara ayah Alif hilang, luruh bersama zikir yang ia sebutkan. Seminggu setelah Ayah Alif dikebumikan, Alif meminta izin secara baik-baik kepada Amaknya untuk kembali ke Bandung.

Setibanya di Bandung alif merasakan banyak perubahan terutama dalam perekonomian, uangnya semakin menipis dan kehidupannya serba kekurangan. Untuk itu tokoh utama ini ingin segera bekerja agar kebutuhannya selama kuliah terpenuhi dan bisa mengirimkan uang kepada Amaknya di kampung. Alif memakai “mantra” man shabara zhafira untuk pelengkap mantra sebelumnya dalam menjalankan kehidupannya yang berubah 180 derajat ini, dengan usaha serta kesabaran akhirnya Alif berhasil mendapatkan pekerjaan tetap sebagai pengisi rubrik di dalam Koran lokal dan Nasional sehingga dengan honornya yang lumayan cukup, ia berhasil mengirimkan uang untuk amaknya di kampung.

Selang beberapa bulan Alif mendengar informasi program tahunan pertukaran mahasiswa ke luar negeri dan ia tertarik untuk mengikuti program tersebut karena sejak dulu cita-citanya ingin menjelajahi Amerika dan Negara lainnya sebagaimana yang pernah ia ucapkan kepada sahibul menara dulu.

Dengan susah payah dan lintang-pukang, ia belajar dan mengikuti semua tes yang diujikan dala program ini. Dan pada akhirnya Alif lulus tes dan Alif berhak ke luar negeri mewakili Indonesia dalam memperkenalkan budaya dan kemampuan orang Indonesia. Perjalanan dimulai dari pelepasan para peserta pertukaran mahasiswa di cibubur, setelah pesawat take off, kemudian singgah di Amman Yordania, disana Alif banyak melihat kebudayaan yang bernafaskan islam, terlebih lagi disana masih terdapat peninggalan-peninggalan kerajaan islam yang dirawat dengan baik oleh masyarakat yordania. Setelah itu pesawat kembali take off dan tak lama kemudian lending di bandara Montreal, Kanada. Setibanya Alif di Quebec, salah satu provinsi di Kanada, Alif ditempatkan bekerja di TV Lokal dan mendapatkan homologue asli orang Kanada, mereka berdua berdomisili di Rue Notre Dame dengan dianugerahi orang tua angkat yang baik.

Alif juga banyak belajar dari lingkungan, kebudayaan, hukum, dan sistem pemerintahan di Kanada. Si hitam, sepatu pemberian almarhum ayah Alif telah melalang buana di tiga ranah dengan kebudayaan berbeda dalam waktu yang singkat, dan kali ini ia lebih unggul dari Randai, sahabat karib tokoh utama sekaligus kompetitor karena ia lebih dahulu menginjakkan kaki di tanah Negara asing meskipun sama-sama mengikuti tes sewaktu di Bandung. Dua tahun setelahnya Alif diwisuda berkat buah dari kesabarannya selama ini menjalani kehidupan selama mahasiswa sekaligus pekerja untuk membiayai kuliahnya dan sebelas tahun kemudian Alif mengajak istri tercinta mengunjungi ibu angkatnya di Quebec untuk meluapkan rasa rindunya yang telah lama ia simpan di dalam hati. Akhirnya mantra “Man shabara zhafira” memberikan hikmah yang tak terhingga kepada Alif, kini Alif hidup bahagia dengan memiliki seorang istri yang cantik dan pekerjaan yang layak, karena “Barang siapa yang bersabar akan beruntung.”


C. Keunggulan
Ada tiga keunggulan utama dalam novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi ini. Keunggulan-keunggulan tersebut adalah sebagai berikut ini. Pertama, permasalahan yang diangkat Ahmad Fuadi sangat realistis dan menarik. Cerita di dalam novel ini merupakan pelengkap dan penjelas kehidupan Alif setelah tamat dari pondok pesantren yang diceritakam dalam novel Negeri 5 Menara sebelumnya. Permasalahan tersebut adalah permasalahan perjuangan seorang pemuda kampung yang ingin menggapai cita-cita besar. Permasalahan tersebut erat hubungannya dengan pendidikan dan ekonomi, novel ini mengajarkan jika benar keinginan, pasti ada jalan. Termasuk ketika perekonomian tidak mengizinkan untuk kuliah, maka akan ada jalan lain yang menolong, jalan yang tak terduga. Untuk menemukan jalan tersebut diperlukan usaha keras dan kesabaran yang membludak, sehingga pintu-pintu rezeki akan terbuka dengan sendirinya.

Kedua, menambah pengetahuan pembaca. Pengarang mampu mengajak pembaca berkeliling dunia. Kepandaian Ahmad Fuadi dalam mendeskripsikan bentuk-bentuk kota, kebudayaan, hukum yang berjalan, dan sistem pemerintahan kota menambah khazanah pengetahuan para pembaca.

Ketiga, pengarang juga mampu mengembangkan penggunaan bahasa yang efektif, memilki kejelasan struktur dan mudah dipahami pembaca, hal ini juga terbukti dalam diksi yang digunakan pengarang serta analogi yang mudah dipahami.

D. Kelemahan
Kelemahan novel ini ada dua, yaitu sudut pandang dan penggunaan diksi. Pertama, Sudut pandang orang pertama sebagai pelaku utama serba tahu kurang efektif digunakan dalam sebuah novel, karena akan terkesan seperti menulis di dalam buku harian yang cenderung meng-akukan tokoh utama. Sebaiknya untuk sebuah novel atau cerita pendek lebih baik menggunakan sudut pandang orang ketiga dan pengarang tidak perlu masuk ke dalam cerita, sehingga pengarang lebih leluasa menceritakan tokoh-tokohnya. Kedua, dibalik kesempurnaan diksi yang digunakan pengarang, ada beberapa diksi yang dirasa kurang efektif digunakan seperti kata “membikin” pada kalimat berikut. “ini yang membikin aku gelisah”, alangkah baiknya kata tersebut diganti dengan kata “membuat” sehingga lebih enak didengar oleh pembaca dan tidak kelihatan menjanggal tentunya.

E. Tinjauan tentang Penggunaan Bahasa
Berdasarkan latar belakangnya, Ahmad Fuadi adalah seorang mantan wartawan Tempo dan VOA di Amerika, dan ia berasal dari jurusan Hubungan Internasional, catatan biografinya menerangkan bahwa ia mahir dalam berbahasa Arab, Inggris dan Perancis .Tidak ada data yang menerangkan bahwa ia seorang pakar bahasa khususnya bahasa Indonesia. Namun, Bahasa Indonesia yang digunakan dalam Ranah 3 Warna secara keseluruhan nyaris sempurna, kemungkinan besar naluri editornya sangat cekatan memilih bahasa. Pilihan katanya sangat kontras dengan penggambaran latar-latar yang mendukung cerita, susunan kalimatnya sangat efektif, dan penggunaan paragraf secara ekspositoris suatu kejadian juga sangat efektif. Secara umum, bahasa yang digunakan pengarang adalah bahasa Indonesia yang baik dan benar, bahasa Indonesia yang efektif.

F. Saran
Secara umum, keunggulan novel ini lebih banyak dibandingkan dengan kelemahannya. Dari segi isi, selain mengungkapkan sisi baik kehidupan manusia, novel ini juga mengungkapkan sisi buruk kehidupan manusia. Kedua sisi tersebut disusun dengan rapi sehingga pengungkapan kedua sisi tidak menimbulkan provokatif, Pengarang mengungkapkan sisi buruk tersebut secara halus, damai, dan tidak menghakimi. Jadi, selayaknya novel ini dibaca oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Jika perlu menjadi bacaan wajib bagi santri-santri yang bersekolah di pondok pesantren dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Tujuannya ialah agar mereka termotivasi untuk mengikuti jejak tokoh Alif yang sukses dalam mengarungi perahu kehidupan dan membuang image bahwa lulusan pondok pesantren hanya dikodratkan menjadi guru ngaji atau penceramah saja. Tanamkan dalam hati bahwa lulusan pondok pesantren atau lulusan apapun bisa menjadi apa saja sesuai dengan kemauan dan kemampuan.

G. Daftar Pustaka
Fuadi, Ahmad. 2011. Ranah 3 warna. (Cetakan ke-1). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Santoso dkk. 1989. Kamus Langkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Terbit Terang.

 

13 Comments

  1. ayyubi says:

    kerenn!

  2. zamil says:

    Serasa khatam 473 halaman dalam 15 menit. Mantap!!!!

  3. gading says:

    MENYALA BU SERA!

  4. naren says:

    mantap jiwa!

  5. kia says:

    masyaallah kece buk

  6. fadlanhanif says:

    Kece badaii Bu Seraa !!

  7. napik says:

    kelazz buk seraa

  8. adnan says:

    konklusi dari ceritanya, harus seperti alip!!!

  9. archurr says:

    masyaallah jadi terinspirasi dan temotivasi untuk belajar ke luar negeri

  10. Alur cerita singkat,jelas,padat

  11. mndaaa says:

    wesssttt gacorr buuu, jadi tau isinya walau cuma baca sinopsisnya

  12. mndaaa says:

    wesssttt gacorr bukk, jadi tau isi novelnya walau cuma baca sinopsisnya

  13. rahman sidiq says:

    🔥🔥🔥🔥

Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Alert: Content selection is disabled!!